Indonesia, salah satu produsen kopi terbesar dunia, tengah menghadapi paradoks. Di satu sisi, konsumsi kopi domestik terus naik—diproyeksikan mencapai 4,8 juta kantong pada 2024/2025. Cafe tumbuh di tiap sudut kota, anak muda mulai belajar menyeduh manual brew, dan kopi single origin makin digemari. Industri kopi terlihat menjanjikan.
Namun di sisi lain, petani kopi kita berada di ujung tanduk.
Fluktuasi harga kopi global, yang dipicu oleh krisis iklim dan gejolak geopolitik, membuat pendapatan mereka tak menentu. Bayangkan: mereka yang memproduksi kopi terbaik negeri ini justru paling rentan terdampak.
“Harga di pasar naik, tapi ongkos produksi kami lebih dulu naik,” kata seorang petani kopi di Kintamani.
Situasi ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan industri belum tentu diikuti oleh kesejahteraan di hulunya. Kita menikmati flat white dengan latte art yang cantik, tapi kadang lupa bahwa di baliknya ada tangan-tangan yang bekerja dalam ketidakpastian.
Jika industri kopi Indonesia benar-benar mau tumbuh berkelanjutan, maka rantai nilainya harus adil—dari petani hingga barista.
Dan mungkin, sebagai konsumen, kita bisa mulai dari hal kecil: kenali asal kopimu, cari yang transparan soal petaninya, dan dukung pelaku lokal yang peduli akan dampaknya.
Aroma kopi selalu mengundang kenyamanan,
tapi kenyamanan itu sebaiknya tidak datang dari ketimpangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar